Arsip Industri Kopi Indonesia

Blue Bottle Ikebukuro

Waktu sudah menunjukkan pukul 19:50 ketika saya tiba di depan Blue Bottle Coffee Ikebukuro. Udara malam Tokyo terasa dingin, saya tahu mereka akan tutup dalam sepuluh menit, tapi saya tetap melangkah masuk.

Begitu pintu kaca terbuka, Suasana di dalam kafe benar-benar sepi, hanya ada suara pelan alat-alat kopi dan samar musik jazz yang mengalun dari speaker. Di balik counter, seorang barista sedang membereskan peralatan, bersiap menutup kafe. Saya sedikit ragu, tapi memberanikan diri mendekat.

“Sumimasen… masih bisa pesan?” tanya saya pelan, setengah berharap, setengah pasrah.

Barista itu seorang pria muda dengan senyum ramah melihat ke arah saya dan mengecek jam di tangannya. “oke,” katanya dengan senyum kecil.

Napas lega mengalir. “Hot cappuccino, onegai shimasu.”

Dia mengangguk dan mulai bekerja. Suara gerakan mesin espresso dan desisan susu yang di steam memenuhi ruangan. Saya berdiri di dekat counter, memperhatikan caranya membuat cappuccino dengan gerakan terampil dan penuh perhatian. Dalam waktu singkat, secangkir cappuccino hangat dengan latte art berbentuk hati tersaji di depan saya.

“arigatōgozaimasu,” kata saya tulus.

Saya menyeruput cappuccino itu pelan-pelan. Rasanya lembut dan kaya, dengan kombinasi espresso yang kuat dan susu yang creamy — sempurna. Waktu terasa melambat. Tak ada suara selain musik dan denting pelan peralatan kafe yang dibersihkan.

Dan di sanalah saya, di sudut Blue Bottle Ikebukuro yang hampir tutup, menikmati secangkir cappuccino hangat dan ketenangan malam Tokyo. Mungkin saya datang di detik terakhir, tapi rasanya justru seperti waktu berhenti sejenak memberi saya ruang untuk bernapas dan menikmati keindahan dalam kesederhanaan.